Pengelolaan Limbah B3 secara spesifik sebenarnya telah diatur dalam PP 19/1994 dan disempurnakan dengan PP 12/1995. Kemudian diganti dengan PP 18/1999 yang selanjutnya disempurnakan dengan PP 85/1999. Menurut PP 18/99 jo PP 85/99, pengertian limbah B3 : “…… setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan kesehatan manusia.”
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Pertama, adalah penerapan “produksi bersih dan minimisasi limbah” bagi industri. Teknologi end pipe treatment yang dipakai di Indonesia sendiri sebenarnya merupakan teknologi kuno (sunset technology) yang telah lama ditinggalkan oleh negara-negara maju. Namun para industriawan biasanya malas untuk mengganti teknologi pengelolaan limbah mereka dari end pipe treatment menjadi clean technology, karena adanya internalisasi biaya eksternal atas kerusakan lingkungan akibat limbah yang dihasilkan. Hal tersebut akan menambah cost tersendiri bagi mereka, apalagi dengan kondisi perekonomian sulit seperti sekarang ini. Inilah repotnya jika industriawan kita hanya mengejar short-term benefits nya saja. Padahal konsep clean technology melalui minimisasi limbah industri dengan model reduce; recycle; reused; recovery dan recuperation, bila diterapkan dengan benar dapat mengurangi cost production dari industri tersebut meskipun pada awalnya dibutuhkan investasi yang cukup besar. Selain produksi bersih, penanganan limbah yang memang tidak dapat tereduksi dalam proses minimisasi limbah harus ditangani sesuai prosedur dan tidak seadanya saja.
Kedua, adalah pembenahan sistem hukum dan peraturan yang telah ada, baik itu untuk limbah yang dihasilkan di dalam negeri maupun untuk lintas batas limbah B3. Peraturan yang ada seperti AMDAL masih jauh dari mencukupi untuk melakukan pengelolaan terhadap limbah, khususnya limbah B3. Apalagi dengan lembaga dan sumber daya manusia yang belum memadai. Sedangkan untuk lintas batas limbah B3, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Basel melalui Kepres RI no. 61/1993 tentang Pengesahan Convension on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal. Namun pada kenyataannya, pada saat Panangian Siregar menjabat Menteri Lingkungan Hidup kabinet Habibie, turun rekomendasi untuk mengimpor lumpur dan sisa bahan galian dari Singapura yang dituangkan dalam surat no. B-495/MENLH/4/1999. Limbah dengan kapasitas 10.000 ton tersebut sudah dikirimkan sebanyak 6000 ton tanpa melalui proses Amdal terlebih dahulu, padahal PUSARPEDAL dan LIPI menyatakan limbah tersebut mengandung logam berat (Arsen, Kadmium, Krom, Nikel, Tembaga dan Timbal) dalam jumlah yang cukup membahayakan. Yang lebih aneh lagi, alamat PT. Bangka Dwiukir Lestari selaku kontraktor di Jl. Jendral Sudirman 8B adalah fiktif dan merupakan alamat kantor Harian Bangka Post. Lemahnya supremasi hukum di Indonesia inilah yang menjadikan seringnya kecolongan baik industri lokal maupun dari luar negeri.
Yang ketiga adalah sesegera mungkin membereskan kelembagaan lingkungan hidup di Indonesia yang memang mempunyai posisi yang lemah. Kedudukan Bapedal misalnya, yang hanya berfungsi secara koordinatif, sehingga seringkali ketika muncul persoalan dalam hal pencemaran lingkungan hidup, hanya fungsi administratif saja yang dijalankan oleh Bapedal, apalagi Bapedal yang ada di daerah.
Keempat yaitu melakukan evaluasi, inventarisasi dan pengembangan terhadap sumber daya yang kita miliki. Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya kita masih sangat lemah dan minim dalam memahami persoalan lingkungan hidup. Sedangkan yang kelima adalah adanya transparansi informasi kepada masyarakat luas, sehingga ada partisipasi aktif dari masyarakat untuk ikut serta dalam usaha pelestarian lingkungan hidup. Salah satunya adalah sosialisasi informasi mengenai limbah B3. Dengan begitu ada keterlibatan seluruh stakeholders secara seimbang dan aktif untuk memecahkan setiap persoalan lingkungan hidup yang akan muncul puluhan bahkan ratusan masalah seiring dengan berkembangnya industrialisasi di negari kita. Sebab bukanlah rahasia bahwa kita pun tidak ingin Indonesia disebut sebagai negara keranjang sampah !!!
Ditulis oleh : Andreas Krisbayu R
Posting ini telah dilihat sebanyak (kali)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar